Umroh

Umroh
Lagi santai di depan Ka'bah

Asmaul Husna

Jay, Elisa dan Michael

Jay, Elisa dan Michael
Melbourn Deakin University

Wisuda S2 UGM Jogja 2009

Wisuda S2 UGM Jogja 2009

di Singapore 6 Januari 2009

di Singapore 6 Januari 2009

Followers

Berita

Lagu Ayat-Ayat Cinta

Kamis, Juni 10, 2010

JILBAB BUKAN KEWAJIBAN?

Jilbab selama yang kita kenal sudah menjadi ijtima' para ulama tentang kewajibannya. Perintah menggunakan jilbab termaktub dalam Al Qur'an dan hadits. Namun menarik untuk diungkapkan pendapat berbeda dari seorang intelektual mesir dan ahli dalam perbandingan hukum Islam yang juga pernah menjadi hakim agung. Ia bernama Muhammad Sa’id al-Asymawi. Beliau seorang penulis. Tulisannya mengenai jilbab terdapat dalam kitabnya Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyyat al-Hadits (2002).
Menurut Asymawi, jilbab sesungguhnya adalah alasan etika universal, yakni tentang kesopanan dan kehormatan. Bahwa ukuran kesopanan dan kehormatan tidak hanya dari satu sudut pandang, yaitu jilbab saja , akan tetapi kesopanan dan kehormatan lebih kepada sikap dan bukan penampakan fisik.
Asbabun nuzul surat Al Ahzab 59 penting disebutkan, “Saat itu, kaum perempuan pada zaman Nabi sering keluar ke padang pasir untuk buang hajat (air besar). Sehingga banyak kaum lelaki yang menyakini mereka sebagai pekerja seks (PS) atau budak perempuan, karena tidak adanya tanda-tanda khusus bagi perempuan merdeka dalam hal pakaian. Maka sebagian mereka mengadukan hal ini kepada Nabi Saw “Karena sebab itulah ayat berjilbab itu diwahyukan.
Menurut Asymawi, aturan atau perintah berjilbab bagi perempuan sesungguhnya bersifat temporal. Artinya, jilbab menjadi “perintah wajib”pada waktu Nabi Saw saja dengan alasan-alasan (illah) tertentu. Dengan alasan tersebut maka menurut Asymawi, saat ini alasan itu sudah tidak relevan lagi.
Menurutnya lagi, hijab (penutup kepala) bukanlah kewajiban yang diwajibkan agama (prinsip syari’at). Dalam kenyataannya, hijab adalah simbol politik. Menurutnya, hakikat hijab adalah pengendalian diri dari syahwat, dan pembentengan diri dari dosa-dosa, tanpa terkait dengan pakaian atau gaun tertentu (ziyy muáyyan aw libas khash). Hijab merupakan contoh syari’at temporal (tasyri’ waqti), atau syari’at yang didasarkan pada waktu tertentu (li qashd al-waqti).
Ásymawi juga membedakan antara hijab (QS. As-Sajdah [32]: 53), khimar (QS. an-Nur [24]:31) dan jilbab (QS. Al-Ahzab [33]: 59). Penamaan jilbab, di beberapa tempat bermacam-macam; sebagian dengan rida’ (sorban), sebagian lagi dengan khimar (kerudung, tapi lebih besar ukurannya), dan yang lain dengan qina’ (penutup muka atau topeng).
Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, nampaknya tidaklah demikian dalam proses dan anggapannya. Hijab lebih sering digunakan hanya untuk memisahkan ruangan, khususnya antara lelaki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Khimar sejak dulu dipahami sebagai kerudung. Dengan perkembangan mutakhir, mode, barangkali hanya jilbab saja yang lebih dikenal hingga kini. Pakaian berjilbab nya pun satu dengan yang lain berbeda-beda.
Terkait dengan itu, asbab an-nuzul ayat-ayat tersebut penting disebutkan, “Saat itu, kaum perempuan pada zaman Nabi sering keluar ke padang pasir untuk buang hajat (air besar). Sehingga banyak kaum lelaki yang menyakini mereka sebagai pekerja seks (PS) atau budak perempuan, karena tidak adanya tanda-tanda khusus bagi perempuan merdeka dalam hal pakaian. Maka sebagian mereka mengadukan hal ini kepada Nabi Saw “Karena sebab demikian, ayat berjilbab itu diwahyukan.
Komentar Asymawi dari ayat tersebut, “Jika para ahli fiqh menetapkan kaidah al-hukm yadur maá íllah wujudan wa ádaman, hilanglah íllah dalam hukum memanjangkan jilbab (yudnin álaihinna min jalabibihinna) dalam ayat tersebut, sebab telah maraknya kamar mandi (WC) di rumah-rumah, dan tidak adanya diskriminasi perempuan karena urusan pakaian. Ini menyebabkan tidak berlakunya lagi hukum tersebut.
Jilbab merupakan hukum temporal (sewaktu-waktu) yang terkait dengan kondisi tertentu (masa Nabi). Jika kondisi tersebut sudah hilang dan berubah, maka kewajiban memanjangkan jilbab ini juga sudah tidak berlaku.”
Hal ini, mirip dengan asbab an-nuzul dari ayat tentang hijab di atas, yang dikhususkan untuk para isteri Nabi. Saat itu, Úmar ibn Khattab usul kepada Nabi; “Ya Rasulallah, isteri-isterimu banyak didatangi orang, dari orang yang baik ataupun yang jahat (fajir) untuk berbagai keperluan. Tidakkah lebih baik sekiranya Engkau perintahkan mereka untuk memasang hijab?”Dari usul Úmar itulah ayat tersebut diturunkan. Berangkat dari sini pula, syariáh hijab dan berjilbab ditetapkan.
Menurutnya Asymawi, di antara alasan yang penting dikemukakan lagi tentang jilbab sesungguhnya adalah alasan etika universal, yakni tentang kesopanan dan kehormatan. Bahwa ukuran kesopanan dan kehormatan tidak hanya dari satu sudut pandang, yaitu yang diwakili jilbab, akan tetapi kesopanan dan kehormatan lebih kepada sikap dan bukan penampakan fisik.
lebih dari yang dikatakan Ásymawi tersebut, dalam sejarah Islam sendiri juga pernah diceritakan bahwa jilbab bukan hanya dipakai oleh perempuan, tapi juga lelaki. Bahkan Rasulullah Saw pernah memakai jilbab. Hal ini seperti dikemukan Fadwa El Guindi dari temuan penelitian lapangannya tentang gerakan Islam di Mesir tahun 1970-an. Temuan menarik itu berasal dari data etnografis, historis, dan lintas kultural yang ditulis dalam Veil: Modesty, Privacy, and Resistence (Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, 2003). Teksnya diambil dari Shahih Bukhari, sebagai kumpulan Hadits Nabi termasyhur yang menyebutkan bahwa pada suatu waktu Nabi mendatangi rumah Abu Bakr dengan menggunakan qina’ (menutup muka, mutaqannián). Temuan lainnya, sejumlah lelaki Arab pra-Islam yang dikenal dengan dzu khimar. Lelaki itu adalah al-Aswad al-Ánsi dan Áuf ibn Rabi’ ibn dzi al-Ramahayn. Dikenal sebagai dzu khimar, karena ia bertempur sambil mengenakan jilbab istrinya dan selalu menang. Pada suatu saat, ketika seseorang roboh dalam pertempuran, ada yang bertanya, “siapa yang menyerangmu?” jawabnya, orang berjilbab itu”.
Terlepas dari perdebatan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri dari fenomena jilbab sekarang ini nampaknya tidak hanya berasal dari pemahaman yang berangkat dari teks, tetapi juga dari ekspresi sebuah realitas. Fakta terakhir munculnya kaum perempuan yang memakai jilbab dengan alasan sebagai solidaritas dan bentuk perlawanan. Ini artinya sebagian orang tetap memahami jilbab dengan melihat konteks (siyaq) atau fenomena (waqi’íyyah) sosial kemasyarakatan yang dinamis, dan sebagian lain memahaminya secara tekstual.
Dalam konteks pemahaman jilbab dalam Islam inipun, yang penting diingat adalah bahwa pilihan jilbab adalah pilihan perempuan. Terlepas apakah jilbab dimaknai dan percayai oleh perempuan tadi sebagai tasyri’, sebagai identitas dirinya, sebagai solidaritas, sebagai bentuk perlawanan, ataupun atas dasar keyakinannya bahwa jilbab memang perintah al-Qur’an. ] (Wallahu a’lam)

sumber : www.rahima.or.id

CARA MUDAH MENENTUKAN ARAH KIBLAT

Tuesday, May 25th, 2010 at 22:33
Kenangan indah yang tak terlupakan dengan Masjid Agung Sumedang, ketika pada waktu kecil “ngabuburit” di alun-alun dan buka puasa bersama di masjid.
Terakhir pada tahun 1993, ikut bersama-sama dengan calon jemaah haji kloter Sumedang melakukan manasik, pada waktu itu kondisi Masjid Agung rasanya masih belum direnovasi seperti sekarang ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, kini Masjid Agung Sumedang sudah mengalami renovasi dan pengembangan yang lebih luas. Namun sekarang bila berkunjung ke dalam Masjid Agung tersebut rasanya ada sedikit perasaan janggal, karena konstruksi dan arsitektur bangunan Masjid itu ternyata tidak searah dengan Kiblat. Pertanyaannya tentu adalah sbb: “Apakah dulu waktu dibangunnya Masjid tersebut tidak diarahkan ke Kiblat atau tidak tahu cara mengarahkan Kiblat yang benar  Hanya saja yang perlu dipahami perbedaan hasil perhitungan tersebut karena beberapa faktor, diantaranya cara penentuan arah, peralatan yang digunakan, dan data geografis ka’bah. Data geografis ka’bah yang berkembang di masyarakat adalah sebagai berikut.

Data Geografis Ka’bah

No Sumber Data Lintang Bujur

1 Atlas PR Bos 38 21º 31´ LU 39º 58´ BT

2 Mohammad Ilyas 21º LU 40º BT

3 Saadoe’ddin Djambek (1) 21º 20´ LU 39º 50´ BT

4 Saadoe’ddin Djambek (2) 21º 25´ LU 39º 50´ BT

5 Nabhan Masputra 21º 25´ 14,7 LU 39º 49´ 40″ BT

6 Ma’shum bin Ali 21º 50´ LU 40º 13´ BT

7 Google Earth 21º 25´ 21,2 LU 39º 49´ 34″ BT

8 Monzur Ahmed 21º 25´ 18 LU 39º 49´ 30″ BT

9 Ali Alhadad 21º 25´ 23,2 LU 39º 49´ 38″ BT

10 Gerhard Kaufmann 21º 25´ 21,4 LU 39º 49´ 34″ BT

11 S. Kamal Abdali 21º 25´ 24 LU 39º 49´ 24″ BT

12 Muhammad Basil at-Ta’i 21º 26´ LU 39º 49´ BT

13 Mohammad Odeh 21º 25´ 22 LU 39º 49´ 31″ BT

Faktor lain yang tak kalah penting adalah “tidak adanya berita acara penentuan arah kiblat”. Sehingga tidak dapat dikomparasikan antara proses pengukuran terdahulu dengan sekarang.

RASDUL QIBLAH adalah solusinya.

Kesempatan yang sangat tepat untuk mengetahui secara persis arah kiblat adalah saat posisi matahari berada tepat di atas ka’bah (Rasdul Qiblah). Posisi matahari tepat berada di atas Ka’bah akan terjadi ketika lintang Ka’bah sama dengan deklinasi matahari, pada saat itu matahari berkulminasi tepat di atas Ka’bah. Dengan demikian arah jatuhnya bayangan benda yang terkena cahaya matahari itu adalah arah kiblat.

Dalam 1000 tahun terakhir, sejumlah matematikawan dan astronom Muslim seperti Biruni telah melakukan perhitungan yang tepat untuk menentukan arah kiblat dari berbagai tempat di dunia. Seluruhnya setuju bahwa setiap tahun ada dua hari dimana Matahari berada tepat di atas Ka’bah, dan arah bayangan matahari dimanapun di dunia pasti mengarah ke Kiblat. Peristiwa tersebut terjadi setiap tanggal 28 Mei pukul 9.18 GMT atau pukul 11.57 LMT (Waktu Mekah) dikonversi menjadi waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) maka harus ditambah dengan 4 jam 21 menit sama dengan pukul (16.18 WIB ) dan 16 Juli jam 9.27 GMT atau pukul 12.06 LMT (16.27 WIB) untuk tahun biasa. Sedang kalau tahun kabisat, tanggal tersebut dimajukan satu hari, dengan jam yang sama.

Penentuan arah kiblat menggunakan bayangan matahari ini merupakan cara yang paling sederhana dan bebas hambatan. Penentuan dengan kompas masih bisa diganggu oleh pengaruh medan magnet. Dengan demikian arah mata angin yang ditetapkan berdasar jarum kompas, belum tentu menentukan arah yang sebenarnya.

Nah.., dari penjelasan tersebut di atas, dapat mudah dipahami dan dilakukan pengecekan oleh siapa pun baik untuk rumah maupun di masjid-masjid lainnya di seluruh Indonesia, dengan cara sbb:

Arah Bayangan

Pada saat nanti bertepatan tanggal 28 Mei 2010, pada jam 16.18 WIB atau pada tanggal 16 Juli 2010 jam 16.27 WIB, berdirikanlah sebatang galah setinggi 2-3 m, ditempat yang tersinari oleh Matahari. Pada jam tersebut itulah arah bayangan dari galah adalah merupakan arah Kiblat yang benar.
Untuk supaya tidak lupa, arah bayangan pada jam tersebut di atas, segera ditarik garis dengan menggunakan benang / tali yang diikatkan pada bagian bawah yang menempel ke tanah (seperti gmb).
Sejajar dengan garis itulah maka nantinya yang akan dijadikan pedoman arah Kiblat tsb. Untuk pengecekan arah Kiblat di Masjid Agung Sumedang, rencananya dari team “Yayasan Sumedang Makalangan” akan bersama-sama melakukan “cross-check” dengan DKM dan MUI Kab.Sumedang pada waktu tersebut di atas, guna menepis kekhawatiran Umat terhadap arah Kiblat tersebut.
Pedoman tersebut di atas, sesuai dengan sumber / reference dari : Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, M.A. Direktur Pusat Studi Falak Muhammadiyah dan Guru Besar Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta Wikipedia-Indonesia.

Wa Allahu a’lam bi as-Sawab…!

Salam Sono ti Urang Wado (Ir.H.Surahman,M.Tech,M.Eng.MBA)

Kalender Islam

Laman

Waktuku

Kalender-Ku


depan pusat pemerintah Malaysia Putra Jaya

di Bandara Hang Nadhim Batam

di Bandara Hang Nadhim Batam

Singapore

Singapore
di Kantin Madrasah Al-Irsyad Singapore

Sepupu Nanum

Sepupu Nanum

di Malaysia

di Malaysia

di Pelatihan ISO

di Pelatihan ISO

Sport News

Banner

About Me

Foto saya
Ingin senantiasa mampu mempertahankan amal soleh

Labels